Selasa, 31 Mei 2011

Memahami diri

Tidak jarang kita berpikir kalau kita telah mengenal diri kita sendiri atau bahkan sering kali juga kita berpikir kalau kita memahami orang disekeliling kita. Biasanya kalau sudah seperti ini akan timbul suatu pertanyaan, apakah benar kita telah memahami diri kita sendiri dan memahami orang lain? Pertanyaan serupa juga muncul kala kita mencoba menasehati orang lain. Apakah kita layak memberikan nasehat kepada orang lain sementara kita tidak paham dengan masalah orang tersebut?


Saya sering merasa bosan apabila mendengar curhatan sesama rekan dimana ketika si rekan pertama curhat ke rekan kedua kemudian oleh si rekan kedua dikatakan “Iya..gw mengerti kok perasaan elu…” Coba kita analisis lagi, apakah benar rasa empati kita begitu hebatnya sampai kita bisa merasakan dan mengerti perasaan orang? Perasaan bukan lah buku yang dapat dengan mudahnya di baca dan dimengerti, perasaan adalah sekumpulan dari pengalaman hidup, emosi, situasi, kondisi dan lainnya yang sudah pasti setiap orang memilikinya secara individual dan unik.

Saya sendiri sudah berusaha meluangkan banyak waktu untuk mencoba memahami orang lain. Usaha ini seringkali terhambat dengan kenyataan kalau saya belum bisa memahami diri saya sendiri. Masih banyak tanya tentang diri saya sendiri yang perlu di jawab sebelum saya berusaha memahami orang lain. Akan tetapi, upaya untuk memahami diri sendiri yang saya lakukan justru telah mengantarkan saya kepada suatu pemikiran sederhana mengenai apa dan bagaimana dalam memahami diri sendiri.

Cara mudah akhirnya saya temukan. Untuk memahami diri sendiri, cobalah memahami orang lain. Dengan kata lain, kita menjadikan orang lain tersebut sebagai cerminan dari diri kita sendiri. Setiap hari kita melihat jutaan emosi dari manusia yang begitu banyak dan beraneka ragam yang dapat kita jadikan cerminan untuk diri kita sendiri dalam memahami siapa kita sebenarnya.

Jika kita melihat ada orang yang marah ngga jelas sebabnya, maka sebaiknya kita berpikir “apakah kita juga pernah marah ngga jelas sebabnya” apabila iya, berarti kita telah mengenal salah satu pemahaman diri kita, yaitu “pernah marah yang ngga jelas sebabnya”. Jika kita melihat ada orang di angkutan umum yang memberikan tempat duduk kepada penumpang lain yang lebih memerlukan tempat duduk, kita bisa kembali bertanya kepada diri kita sendiri “bagaimana jika kondisi tersebut terjadi pada diri saya, apakah saya akan memberikan tempat duduk yang nyaman ini kepada orang lain?”.

Jadi simpulan yang dapat saya ambil adalah “Semakin sering kita berinteraksi dengan orang lain dan semakin sering kita berupaya memahami orang lain, berarti semakin kita mendekati pemahaman terhadap diri kita sendiri”

Senin, 30 Mei 2011

Mengenal Jati Diri

Ada Dua Aku Dalam Diri Manusia..
Menanggapi tulisan pak Katedra tentang “Aku siapa, dan siapa Aku,? kemudian ada tanggapan yang menyatakan setelah mati, fisik kembali menjadi tanah, dan roh masuk sorga, lalu “Aku Kemana,.?” Untuk menjawab kedua peretanyaan diatas memerlukan penjelasan yang lebih dalam.
Manusia saya umpamakan seperti seorang penari ” Legong” naik ditas panggung, menari sesuai dengan irama gambelan, ditonton oleh banyak orang. Setelah tariannya selesai, penari turun panggung, pakain legongnya dilepas, ganti pakain dengan baju kaos dan jelana jeans, lalu keluar dari kamar ganti . Penonton bertanya, “legongnya kemana,..?
Pertanyaan pak Katedra diatas, sama dengan pertanyaan penonton, mana legongnya,..? aku ini siapa, siapa aku ini,..? kalau orang mati, artinya tariannya sudah selesai, pakain legongnya masuk rancel, penarinya pakai kaos dan jeans, lalu legongnya kemana,..?
Legong adalah suatu kepribadian “semu” dia hanya ada sesaat pada waktu pentas diatas panggung. Kalau pak Katedra bertanya “Aku Ini Siapa,..? sama dengan legong bertanya diatas panggung , aku adalah legong, lalu “Ayu ” kemana,..? Ayu adalah nama penarinya.
Pak Katedra adalah seorang penari legong yang sedang kebingungan diatas panggung, dia bertanya, aku ini legong atau katedra. Kita semua yang berada dalam “alam maya” ini adalah penari-penari yang sedang menari diatas panggung.. Semua yang anda lihat dengan “mata maya” anda adalah semu. Pohon2, gedung2 bertingkat, semuanya adalah dekorasi alam maya, setelah pesta selesai semua dekorasi itu akan dimusnahkan.
Penari2 yang tidak menyadari dirinya yang asli, menyebutkan “selesainya pesta” disebut hari kiamat, karena semua penari kembali kepada jati dirinya. Selanjutnya timbul pertanyaan siapa sebenarnya “jati diri manusia” Sama dengan pertanyaan penari Legong, siapa Ayu?
Pada watu selesai pesta, mereka yang mengenal jati dirinya, misalnya Ayu kembali memakai pakaian jean dan baju kaos, tetapi penari lainnya yang tidak mengenal jati dirinya, tetap memakai pakain penari disimpan dalam peti bersama dekorasi panggung, artinya mereka dikembalikan kepada alam material, yaitu alam kegelapan yang disebut neraka, tetap Ayu yang sadar akan dirinya berada dalam alam kesadaran yang disebut Sorga.
Kita ambil contoh almarhum Sukarno dan Suharto. Pada akhir pentasnya, mereka sadar kostum penarinya akan dilepas, pak Harto pernah bilang, akan menjadi pandito, tetapi pak karno memang sudah menjadi pandito, yaitu orang yang mengenal jati dirinya, seperti para resi2 jaman dulu. Kondisi pandito itu ditunjukkan oleh sikap beliau yang logowo menerima kenyataan, beliau sudah melepas kostum Sukarno, maupun Suharto pada akhir pentasnya
Pada waktu kostum Sukarno dan Suharto dilepas, beliau memakai kostum aslinya yaitu kesadaran, mereka menyatu dalam alam kesadaran yang disebut sorga. Beda dengan Basyir, sudah tua masih menghujat dan mendendam, batinnya dipenuhi oleh kedengkian, sehinga sangat sulit untuk mengenal jati dirinya. Akhir pesta dia idak bisa melepas kostumnya, sudah melekat kuat pada jati dirinya, sehingga dia dikubur bersama kostumnya di alam kegelapan.
Kembali kepada pak Katdra yang sudah berusaha mencari jati dirinya, adalah usaha yang bagus, diatas pentas kita tetap menari mengikuti irama gambelan, tetapi kta harus tetap jaga kesadaran kita, orang jawa bilang kita harus tetap “Eling”
Untuk menemukan jati diri itu, satu-satunya cara yang saya tahu ialah menyelami diri sendiri, masuk kedalam keheningan bathin yang paling dalam, hal ini disebut “Meditasi” Yesus sebut jalan sempit. Jalan lebar ialah sembahyang atau berdoa yang diajarkan agama hakikatnya ialah menghirup udara sorga, manfaatnya ialah membersihkan bathin, merupakan langkah awal untuk mencari jati diri. Sama dengan tingkat TK, menyanyi dan bermain adalah langkah awal belajar bagi anak2. Kalau sampai tua kita hanya menyanyi dan bermain, kapan kita akan menjadi sarjana,.? (madeteling@plasa.com)

sumber : http://filsafat.kompasiana.com/2009/11/18/mengenal-jati-diri-manusia/